TATA GUNA LAHAN DAN HUKUM PERTANAHAN PERRMASALAHAN TENTANG TANAH
TATA
GUNA LAHAN DAN HUKUM PERTANAHAN
PERRMASALAHAN
TENTANG TANAH

PROGRAM
STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
ANDALAS
PADANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Sengketa
menurut kamus Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, konflik
dapat terjadi karena adanya pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok
ataupun organisasi-organisasi. Winardi berpendapat pertentangan atau konflik
yang terjadi antara individu-individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai
hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek kepemilikan, yang
menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain. Adapun tujuan seseorang
Sengketa
tanah banyak terjadi karena adanya sebuah benturan kepentingan antara siapa
dengan siapa. Sadar akan pentingnya tanah untuk tempat tinggal atau kepentingan
lainnya menyebabkan tanah yang tidak jelas kepemilikannya diperebutkan bahkan
ada yang sudah jelas kepemilikannyapun masih ada yang diperubutkan, hal ini
terjadi karena masyarakat sadar akan kepentingan dan haknya,selain itu harga
tanah yang semakin meningkat.Menurut Rusmadi Murad timbulnya sengketa hukum
yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang atau badan) yang berisi
keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah,
prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan.
Peraturan
yang berlaku kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim / pengaduan /
keberatan dari masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan
tuntutan terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang
telah ditetapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan
Nasional, serta keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka
atas suatu bidang tanah tersebut. Dengan adanya klaim tersebut, mereka ingin
mendapat penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta
merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi
terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat /
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan
Nasional.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah yang menyebabkan
timbulnya masalah sengeketa tanah
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui
penyebab masalah timbulnya masalah sengketa tanah
BAB
II
PEMBAHASAN
Ada banyak
sekali fungsi dan manfaat tanah, tetapi fungsi tanah yang dimaksud dalam
pembahasan makalah ini adalah fungsi tanah dari segi sosial. Tanah semakin
bagus fungsinya serta akan sangat bernilai tinggi jika terletak di tempat yang
strategis seperti dekat dengan jalan raya, dekat dengan pasar, tempat hiburan
dan tempat-tempat pentinglainnya yang merupakan sumber kehidupan dan kebutuhan
sosial masyarakat.
Menurut Saidin (2002) fungsi tanah selain
sebagai tempat untuk tinggal, tanah juga digunakan sebagai tempat mengadakan
aktivitas ekonomi, jalan untuk kegiatan lalu lintas, perjanjian dan yang
padaakhirnya sebagai tempat tinggal masa depan (kuburan). Jadi, tanah itu sangat
bernilai penting untuk kehidupan, sehingga banyak orang memperebutkan tanah dan
tidak heran jika satu keluarga (kakak-adik) bertengkar karena urusan tanah,
khususnya tanah warisan.
Ø Faktor
Pendorong Terjadinya Sengketa Tanah.
Menurut
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, setidaknya ada tiga hal utama
yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah :
1.Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya
adalah ada tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat
masing-masing.
2.Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah
memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas
dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama
pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adat diambil
alih oleh para pemodal dengan harga murah.
3.Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal
(de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau
para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik
tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian
orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa tanah
ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di carikan
solusinya.kl arena sengketa tanah sangat berpotensi terjadinya konflik antar
ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus dipertaruhkan.
Indonesia
adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan bermasyarakat
diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang undangan.
Masyarakat dalam suatu Negara hukum akan menyelesaikan masalahnya dalam suatu
lembaga peradilan yang diatur khusus oleh undang undang. Begitu pula dengan
pertanahan yang mempunyai undang-undang politik agrarian (UUPA). Namun,
sengketa tanah yang terjadi di Indonesia tidak pernah berakhir, selalu ada
permasahalan terkait masalah kepemilikan tanah dan hak guna pakainya.
Menurut Lovetya (2008), faktor penyebab dari
konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan
tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi
yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh
Negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian antara undang-undang dengan
kenyataan dilapang seperti terjadinya manipulasi pada masa lalu yang
mengakibatkan pada era reformasisekarang ini muncul kembali gugatan, dualisme
kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan
mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adatdalam sistem
perundang-undangan agraria.
Menurut Fia (2007), faktor penyebab munculnya
permasalahan tentang kasus sengketa tanah antara lain Harga tanah yang
meningkat dengan cepat, kondisi masyarakat yang semakin sadar dan peduli
akan kepentingan dan haknya, iklim keterbukaan yang digariskan pemerintah.
Ø Sertifikat Hak Atas Tanah
a. Definisi
Sertifikat Hak Atas Tanah
Dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang dimaksud sertifikat adalah :
“Surat tanda bukti hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak
pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan
yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.”
Buku Tanah adalah dokumen dalam
bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran
tanah yang sudah ada haknya (Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997).
b.Kedudukan Sertifikat Tanah
Pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 disebutkan bahwa :
1.Sertifikat
merupakan tanda bukti hak yang berlaku, apabila data fisik dan data yuridis
tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.
2.Dalam hal
ada suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat menuntut pelaksanaan atas hak tersebut
apabila dalam 5 tahun sejak diterbitkannya sertipikat telah mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang hak sertipikat dan kepala kantor pertanahan
yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke pengadilan melakukan
penguasaan atau penerbitan sertipikat tersebut.
c.Sebagai
alat bukti yang kuat maka sertifikat mempunyai manfaat sebagai berikut :
1. Menjamin
kepastian hukum karena dapat melindungi pemilik sertifikat terhadap gangguan
pihak lain serta menghindarkan sengketa dengan pihak lain.
2. Mempermudah
usaha memperoleh kredit dengan tanah bersertifikat sebagai
jaminan.
3. Dengan
adanya surat ukur dalam sertifikat maka luas tanah sudah pasti, sehingga untuk
penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akan lebih adil.
d.Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Sengketa Sertifikat Ganda.
Terjadinya sertifikat ganda dipengaruhi oleh beberapa
faktor intern dan ekstern.
a. Faktor
intern antara lain:
1.Tidak
dilaksanakannya Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya secara
konsekuen dan bertanggungjawab disamping masih adanya orang yang berbuat untuk
memperoleh keuntungan pribadi.
2.Kurang
berfungsinya aparat pengawas sehingga memberikan peluang kepada aparat
bawahannya untuk bertindak menyeleweng dalam arti tidak melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sesuai sumpah jabatannya.
3. Ketidaktelitian
pejabat Kantor Pertanahan dalam menerbitkan sertipikat tanah yaitu
dokumen-dokumen yang menjadi dasar bagi penerbitan sertifikat tidak diteliti
dengan seksama yang mungkin saja dokumen-dokumen tersebut belum memenuhi
persyaratan sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundangundangan yang
berlaku.
b Faktor
ekstern antara lain:
1.Masyarakat
masih kurang mengetahui undang-undang dan peraturan tentang pertanahan
khususnya tentang prosedur pembuatan sertipikat tanah.
2.Persediaan
tanah tidak seimbang dengan jumlah peminat yang memerlukan tanah.
3.Pembangunan
mengakibatkan kebutuhan akan tanah semakin meningkat
Ø Contoh kasus
yang disebabkan dari carut-marutnya hukum pertanahan di Indonesia.
Berdasarkan
data Badan Pertanahan Nasional mencatat ada 2.810 kasus sengketa tanah yang
berskala nasional yang terjadi di Indonesia ini, maka boleh dibayangkan bagaimana
hebatnya bom waktu yang akan meledak jika kasus-kasus tersebut tidak segera
mendapatkan penanganan dan penyelesaian yang layak dan yang berpihak pada
kepentingan rakyat.
Contoh kasus
:
Sengketa
tanah Meruya selatan (jakarta barat) antara warga (H. Djuhri bin H. Geni, Yahya
bin H.Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973
dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT. Portanigra. Tetapi proses eksekusi
tanah dilakukan baru tahun 2007yang hak atas tanahnya sudah milik warga sekarang
tinggal di Meruya yang sudah mempunyaisertifikat tanah asli seperti girik.Kasus
sengketa tanah Meruya ini tidak luput dari pemberitaan media hingga DPR pun
turuntangan dalam masalah ini. Selama ini warga Meruya yang menempati tanah
Meruya sekarang tidak merasa punya sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak
juga membeli tanah dari PTP ortanigra,namun tiba-tiba saja kawasan itu yang
ditempati hampir 5000 kepala keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi
berdasarkan putusan MA.
Contoh
lainya seperti :
Sengketa
tanah Prokimal (proyek pemukiman TNI AL) meletus tahun 1998. Warga di sekitar
Prokimal sering menggelar unjuk rasa dengan cara memblokade jalur pantura
(pantai utara) untuk menuntut pembebasan lahan yang dianggap miliknya. Dari
catatan media Surya, dalam setahun terakhir terjadi dua kali pemblokiran jalan
pantura oleh warga, yakni 14 Desember 2006 dan 10 Januari 2007. Selain itu,
warga Desa Alas Telogo, Kecamatan Lekok, memilih menempuh jalur hukum dan
menggugat kepemilikan tanah itu ke Pengadilan Negeri (PN) Bangil, 18 Juli 2006
lalu.
Ø Bentuk-bentuk
Penyelesaian Sengketa Tanah.
Pada
hakikatnya, kasus pertanahan merupakan benturan kepentingan (conflict of interest) di bidang
pertanahan antara siapa dengan siapa, sebagai contoh konkret antara perorangan
dengan perorangan; perorangan dengan badan hukum; badan hukum dengan badan
hukum dan lain sebagainya.Sehubungan dengan hal tersebut di atas, guna
kepastian hukum yang diamanatkan UUPA, maka terhadap kasus pertanahan dimaksud
antara lain dapat diberikan respons/reaksi/penyelesaian kepada yang
berkepentingan (masyarakat dan pemerintah), berupa solusi melalui Badan
Pertanahan Nasional dan solusi melalui Badan Peradilan. Solusi penyelesaian
sengketa tanah dapat ditempuh melalui cara berikut ini :
A. Solusi
melalui BPN
Kasus
pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari masyarakat
(perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap suatu
keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh
Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta
keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang
tanah tersebut.
Dengan
adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat penyelesaian secara administrasi dengan
apa yang disebut koreksi serta merta dari Pejabat yang berwenang untuk itu.
Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara
di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), ada
pada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Kasus pertanahan meliputi beberapa macam
antara lainmengenai masalah status tanah, masalah kepemilikan, masalah
bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak dan sebagainya. Setelah
menerima berkas pengaduan dari masyarakat tersebut di atas, pejabat yang
berwenang menyelesaikan masalah ini akan mengadakan penelitian dan pengumpulan
data terhadap berkas yang diadukan tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat
disimpulkan sementara apakah pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut
atau tidak dapat. Apabila data yang disampaikan secara langsung ke Badan
Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas atau kurang lengkap, maka Badan
Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan disertai dengan data serta saran ke
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak tanah yang disengketakan.
Bilamana
kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya diadakan pengkajian
kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi segi prosedur,
kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat (perorangan atau
badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut mendapat
perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor Pertanahan
setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang harus
distatus quokan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan ini
dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal
14-1-1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16
tahun 1984.
Dengan
dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta
perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau
pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (CB) dari
Pengadilan. (Bandingkan dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No 3 Tahun 1997 Pasal 126).Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan setempat hendak melakukan
tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang
Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah), harusnya
bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum Pemerintahan yang baik,
antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan (fair play), asas
persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan memperhatikan
pihak-pihak yang bersengketa.
Terhadap
kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional untuk dimintakan
penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang bersengketa, maka
sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah. Penyelesaian ini
seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di dalam
menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati
pihak-pihak yang bersengketa.
Berkenaan
dengan itu, bilamana penyelesaian secara musyawarah mencapai kata mufakat, maka
harus pula disertai dengan bukti tertulis, yaitu dari surat pemberitahuan untuk
para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya sebagai bukti adanya perdamaian
dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di hadapan notaris sehingga
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pembatalan
keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam penerbitannya.
Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan tersebut antara lain :
1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
2. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di
Bidang Pertanahan.
4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
No 3 Tahun 1999.
5.Dalam praktik selama ini terdapat
perorangan/ badan hukum yang merasa kepentingannya dirugikan mengajukan
keberatan tersebut langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional. Sebagian
besar diajukan langsung oleh yang bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan
Nasional dan sebagian diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota
setempat dan diteruskan melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi yang bersangkutan.
B. Melalui
Badan Peradilan
Apabila
penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang bersengketa tidak
tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihak dari Kepala Badan
Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa,
maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.
Setelah
melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang diterbitkan oleh
Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan sesuai dengan
prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat juga
mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang
berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat
Badan Pertanahan Nasional tersebut. Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut
berarti Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar
dan sah walaupun ada pihak lain yang mengajukan ke pengadilan setempat.
Sementara
menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dilarang bagi Pejabat
Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah yang bersangkutan
(status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya masalah di kemudian
hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berperkara maupun pihak
ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang terkait
harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu untuk melindungi
semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Kemudian
apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan mengusulkan permohonan
pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang Pertanahan yang telah
diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan
laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban yang ada di atas
tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.
Kewenangan
administratif permohonan pembatalan suatu Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi kewenangan Kepala Badan
Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah kebijaksanaan yang akan diambil
berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim yang tidak dapat dilaksanakan.
Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk
menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut.Di bidang pertanahan, belum ada
suatu peraturan perundang – undangan yang secara eksplisit memberikan dasar
hukum penerapan Alternatif Dispute Resolution (ADR).Namun, hal ini tidak dapat
dijadikan alasan untuk tidak menggunakan lembaga ADR di bidang pertanahan
berdasarkan 2 (dua) alasan, yaitu :Pertama, di dalam setiap sengketa perdata
yang diajukan di muka pengadilan, hakim selalu mengusulkan untuk penyelesaian
secara damai oleh para pihak (Pasal 130 HIR).Kedua, secara eksplisit cara penyelesaian
masalah berkenaan dengan bentuk dan besarnya ganti kerugian dalam kegiatan
pengadaan tanah diupayakan melalui jalur musyawarah.
Keputusan
Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (“Keppres No.53 tahun 1993”) dan Peraturan
Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994
yang merupakan peraturan pelaksanaan Keppres No. 55 tahun 1993, mengatur
tentang tata cara melakukan musyawarah secara cukup terinci.Dalam perkembangannya,
hal ini dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (“Perpres No. 36
tahun 2005”) yang diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 yang
telah dilengkapi dengan Peraturan Kepala BPN Nomor 3 tahun 2007. Dengan
berlakunya Perpres No. 36 tahun 2005, maka Keppres No. 55 tahun 1993 dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Dengan
berjalannya waktu, penyelesaian sengketa melalui ADR secara implisit dimuat
dalam Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional
(“BPN”). Dalam struktur organisasi BPN dibentuk 1 (satu) kedeputian, yakni
Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
(“Deputi”). BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan
Penyelesaian Masalah Pertanahan melalui Keputusan Kepala BPN RI Nomor 34 tahun
2007. Dalam menjalankan tugasnya menangani sengketa pertanahan, BPN melakukan
upaya melalui mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa alternatif.
Pembentukan
Deputi tersebut menyiratkan 2 (dua) hal, yaitu pertama, bahwa penyelesaian
berbagai konflik dan sengketa pertanahan itu sudah merupakan hal yang sangat
mendesak sehingga diupayakan membentuk kedeputian untuk penanganannya.Kedua,
terdapat keyakinan bahwa tidak semua sengketa harus diselesaikan melalui
pengadilan.
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Di Zaman sekarang ini kebutuhan akan
tempat tinggal meningkat, sedangkan luas tanah terbatas, sehingga menyebabkan
nilai guna tanah penting sekali. Selain sebagai tempat untuk tinggal, tanah
juga digunakan sebagai tempat mengadakan aktivitas ekonomi, jalan untuk
kegiatan lalu lintas, perjanjian dan yang padaakhirnya sebagai tempat tinggal
masa depan (kuburan).
Ada 2.810
kasus sengketa tanah yang berskala nasional yang tercatat oleh Badan Pertanahan
Nasional, terjadi di Indonesia ini, faktor utama penyebab adalah :
1. Persoalan administrasi sertifikasi tanah
yang tidak jelas.
2. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak
merata.
3. Legalitas kepemilikan tanah yang
semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan
produktivitas tanah.
Sertifikat
(tanah) merupakan tanda bukti hak yang berlaku, apabila data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah
hak yang bersangkutan. Kedudukan sertifikat ini diatur dalam Pasal 32 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Penyelesaian
sengketa tanah dapat dituntaskan dengan beberapa cara seperti :
1. Melalaui Badan Pertanahan Nasional
2.
Melalui
badan peradilan, bernegosiasi, dan lain-lain tergantung para pelakunya
mengarahkan ke arahmana jalan penyelesaian yang baik menurutnya.
3.2 Saran
Banyak sekali penyebab sengketa
tanah di Indonesia ini, baik karena fungsi tanah itu sendiri yang sangat
dibutuhkan, maupun masalah administrasinya, tetapi sebagaimana dari hasil
catatan Badan Pertanahan Negara tentang kasus sengketa tanah yang terjadi di
Indonesia ini, faktor utama penyebabnya adalah masalah administrasi sertifikat
yang tidak jelas, distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata, dan legalitas
kepemilikan tanah yang semata-mata pada sertifikat saja, tanpa memperhatikan
produktifitas tanahnya. Berdasarkan faktor utama penyebab sengketa di atas
dapat disimpulkan pemerintah sangat diharapkan berperan aktif supaya tidak
mengalami sengketa tanah di masa akan datang, baik upaya peningkatan
administrasi yangmana harus jeli melihat dan akan membuat sertifikat-sertifikat
tanah, agar tidak ada yang berduplikat, maupun dalam pembagian tanah
untuk pemukiman yang merata bagi setiap rakyat Indonesia. Di sisi lain
disarankan juga bagi masyarakat yang akan membeli, memperoleh tanah maupun akan
membuat surat bukti kepemilikan tanah agar berhati-hati melihat kelegalan
surat-surat atau dokumen-dokumen kepemilikan tanah yang ada supaya tidak
terjadi permasalahan nantinya.
Komentar
Posting Komentar